Manusia dicipta untuk menguasai seluruh bumi dan segala isinya. Selain memberikan segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan pohon-pohonan yang buahnya berbiji, Allah juga menanamkan biji atau “benih kebahagiaan” di dalam diri setiap manusia.
Benih kebahagiaan itu disebut “harga diri, nurani, kemanusiaan, jati diri” - ialah manusia sejati yang selayaknya dapat menikmati kehidupan serta memperoleh kebahagiaan sejati.
Kita harus menyadari, bahwa setiap manusia adalah ciptaan Allah yang sangat berharga. Hidup kita, dan jati diri, potensi agung yang ada pada kita sejak dilahirkan, harus berada di atas segalanya. Harga diri atau jati diri merupakan aset yang sangat penting guna membangun kebahagiaan.
Oleh karena itu, jati diri tidak boleh dicemari oleh segala macam kenikmatan sesaat, uang, kekayaan, kekuasaan, ketenaran dan semacamnya. Semua itu harus diletakkan di bawah jati dirinya, agar kebahagiaan sejati tumbuh dan berkembang.
Ambisi yang berlebihan dan segala keinginan yang tidak terbatas, juga harus dibenamkan di bawahnya, sehingga tidak mengganggu kebahagiaan hidup. Segala rintangan, kesusahan, penderitaan, harus dapat dikalahkan, karena itu semua adalah proses yang perlu dilalui dalam perjalanan guna mencapai kebahagiaan.
Pernah mendengar cerita seekor keledai yang terperosok ke dalam sumur tua?
Karena segala upaya yang dilakukannya tidak berhasil mengentaskan dari sumur yang cukup dalam, pemilik keledai bersama tetangganya beramai-ramai menimbuni keledai yang memang sudah tua itu dengan tanah.
“Barangkali inilah cara terbaik, agar keledai tidak terlalu lama menderita di dalam sumur”, kata mereka.
Tetapi keledai itu tak mau dikalahkan oleh tanah yang mengguyur tubuh, ia tetap menari-nari, meloncat-loncat, menggoyangkan tubuhnya, sehingga tanah yang menimpa dan tertimbun di atas punggungnya jatuh berserakan dan diinjak-injaknya.
Melihat hal itu pemiliknya ikut merasa senang dan semakin berhati-hati memasukkan tanah ke dalam sumur, agar tidak melukai tubuh keledai. Makin lama, timbunan tanah semakin tinggi, dan keledai yang menginjak-injaknya juga semakin mendekati permukaan sumur.
Akhirnya keledai itu meloncat dari sumur yang hampir tertimbun penuh, berlari dan menari-nari, diiringi sorak sorai orang-orang yang berkerumun di situ.
Keledai itu mencintai hidupnya, biar sudah tua tetapi tetap berguna, tidak membiarkan dirinya ditimbun dengan tanah. Ia memilih kehidupan bukan kematian, menikmati hidup yang penuh harapan bukan berputus asa, ia singkirkan segala rintangan yang mengganggu kebahagiaan.
Bahkan dapat membawa kebahagiaan kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Lebih dari itu, keledai itu mampu memberi harga yang tinggi pada dirinya, tidak mau dirinya dikorbankan, ditimbun dengan tanah.
Kebanyakan orang juga pernah menanggung penderitaan, kesusahan, persoalan, kesulitan, krisis, yang menimbuni hidupnya. Namun segala penderitaan itu tidak perlu menghancurkan hidupnya - selalu ada jalan untuk mengatasi segala hal yang merupakan rintangan kebahagiaan.
Orang perlu memahami, menentukan, memilih alternative yang terbaik dan paling memungkinkan, berusaha untuk mengalahkan penderitaan dan rintangan. Timbunan tanah, juga berarti segala hal yang hanya memberi kenikmatan sesaat, seperti kekayaan, jabatan, kekuasaan, penampilan, gelar, ketenaran, dan sebagainya. Tidak selayaknya kita korbankan “nama baik” demi harta benda, kekuasaan, dan segalanya yang hanya untuk memuaskan nafsu saja*****
No comments:
Post a Comment